merumuskan pemahaman yang berbeda tentang misteri semesta. Biar setiap hati mencari jalannya sendiri menggapai tempat tertinggi.
Hak semua insan menentukan tujuan kehidupan yang menurutnya paling penting. Bagaimanapun tak masuk akalnya cara mereka itu buatmu, jangan pernah mengatainya sesat atau sinting.
Tapi dalam perbedaan cara itu, kita semestinya juga merapatkan tersatukan, karena agama-agama yang hebat itu sesungguhnya sama-sama menganjurkan kebaikan, walau dengan cara yang berlainan. Apakah Islam, Kristen, Buddha, Hindu, Yahudi, Konfusius, semuanya, semua ajaran mulia yang mengawal kehidupan, menuntun kepada kebahagiaan.
Jangan membunuh, jangan menyakiti, jangan buat perintang di jalan yang dilalui orang buta, jangan abaikan fakir miskin dan anak yatim, jangan perbudak orang-orang lemah — itulah yang selalu kau temukan di semua kitab suci.
Seluruhnya berkutat di sebuah substansi: “Lakukan kepada orang lain, apa yang kau inginkan dilakukan orang lain kepadamu.” Itu sebabnya, kesatuan mendasar di antara agama-agama besar adalah persoalan etik.
Benar, bahwa ada filosofi agama yang mengajakmu menjauh dari dunia, beranjak dari dimensi ruang dan waktu, menggenapkan dan menyerahkan seluruh hidup, untuk sesuatu yang Tak Terlihat, Sang Pemilik Seluruh Kekuatan, Dia yang lebih dekat dari urat nadi, tapi juga lebih jauh dari ujung galaksi.
Tapi semua agama itu sepakat tentang pentingnya pengampunan, keadilan, cinta kasih — yang harus kau punyai saat ini, di sini, di bumi. Semua bergegas mencegah manusia dari menjadi tak peduli, dari menerima kejahatan bermukim di hati, dan mendorong kita meraih semua kemungkinan baik yang terhampar di panggung kehidupan, membuat hidup orang lain terasa legit, bukan malah membuatnya makin pahit.
Agak ironis kan, kalau kita malah sibuk mempertentangkan metode-metode, yang memang berbeda dalam setiap agama, yang akhirnya membuat kita makin jauh dari tujuan yang sama tadi itu; membudayakan pengampunan, menegakkan keadilan, dan menumbuhkan cinta kasih.
Jangan pernah ragu, bersama-sama pasti lebih kuat dari sendiri-sendiri. Beda tak serta merta harus berpisah. Setiap orang muncul ke dunia pastilah merupakan akibat dari perbuatan orang lain. “Papa dan Mama Bercinta, Maka Aku Ada”. Anak yang lahir sebagai akibat tadi, juga tak kan bisa survive tanpa peran orang lain. Ya, kadang kita memang dirugikan orang lain, tapi hampir setiap butir kebahagiaan juga hanya bisa muncul dalam konteks hubungan kita dengan orang lain.
Ingatlah, betapa gairah yang membuatmu seolah tak pernah lelah itu, muncul ketika dirimu didorong oleh kepedulian kepada seseorang. Tidak cuma itu. Perbuatan demi orang lain, tidak saja memungkinkanmu mengalami sesungguhnya bahagia, tetapi juga sekaligus menghindarkanmu dari sebenar derita.
Bukan berarti mereka yang peduli dan suka berbuat demi orang lain akan selalu lebih mujur dari mereka yang cuma memikirkan diri sendiri. Tiap orang bisa kena musibah, pasti sakit, menua, dan akhirnya mati. Tapi mereka yang peduli, dengan sendirinya tidak memberi ruang bagi derita, dalam bentuk kecemasan, keraguan dan kekecewaan, untuk bersarang di jiwanya.
Logikanya begini. Mereka yang peduli pada orang lain, pasti tak akan mencemaskan dirinya sendiri. Mereka yang tak mencemaskan dirinya sendiri, dengan sendiri telah memastikan dirinya bahagia, akan baik-baik saja.
Apa artinya semua itu? Firstly, karena setiap aksi yang kita lakukan mengandung dimensi yang universal, kaitan yang menyemesta, punya dampak potensial bagi kehidupan orang lain, maka kita dengan agama yang kita anut, mesti memastikan diri tidak menganiaya orang lain. Secondly, kebahagiaan yang sesungguhnya memang mengandung kualitas spiritual itu, pengampunan, keadilan, cinta kasih.
Karena hanya itulah jalan, yang pada waktu bersamaan mengantarmu kepada kegembiraan dan menuntun orang lain kepada kebahagiaan. Inilah rute ke menuju bahagia sesungguhnya, arah kembara dari agama yang sempurna.
0 komentar:
Posting Komentar