Pernah nonton sinetron? Biar bukan penikmat sinetron saya beberapa kali (terpaksa) menonton sinetron, baik di rumah karena istri yang nonton maupun saat sedang antri di bank ataupun antrian lain. Sudah banyak yang menanggapi negatif bahkan mencaci kualitas sinetron kita. Dari kualitas akting sampai aksi jiplak menjiplak yang menjadi hobi produser sinetron tanah air. Maksud saya menuliskan uneg-uneg ini agar bisa menjadi koreksi untuk peningkatan kualitas industri sinema Indonesia. Saya merasa bangga kok dunia sinematografi kita mengalami kemajuan yang pesat saat ini. Namun khusus sinema elektronik, saya merasa banyak yang harus dibenahi.
Dari beberapa kali menonton sinetron, saya melihat ada yang seragam dalam cara sutradara mencoba menjelaskan alur cerita. Penonton seperti dituntun untuk memahami jalan cerita. Adakalanya aktor berakting seperti sedang berpikir dengan mimik yang kurang natural, apalagi bila peran aktor itu adalah antagonis. Tatapan mata sinis dan kerlingan licik serta bibir yang menipis terkadang mengerucut menjadi bumbu. Maksudnya mungkin untuk mempertegas kesan antagonis. Namun ternyata ini belum cukup. Bersamaan dengan itu, terdengar suara aktor tersebut seperti berbicara dalam hati menceritakan apa yang dirasakannya dan rencana busuk yang tengah disusun. Mimik yang dimaksudkan untuk mempertegas penggambaran situasi yang dialami dan karakter aktor tersebut ternyata belum dianggap cukup memberikan informasi bagi penonton. Beberapa sinetron bahkan merasa perlu sang aktor berbicara pada dirinya sendiri. Mungkin kalau di sekitar anda ada seseorang bicara sendiri, anggapan awal anda adalah orang itu sedang stres seperti caleg yang terlilit hutang.
Saya lalu kerap bertanya pada diri sendiri (tentunya yang mendengar cuma saya dan Tuhan, dan tanpa berucap tentunya..^ ^). Apakah pekerja film sinetron, utamanya sutradara menganggap penonton sinetron kurang cerdas hingga merasa perlu menjelaskan situasi dan alur cerita secara eksplisit? Bukankah film/sinetron adalah karya visual yang sengaja dibuat agar penonton bisa menarik kesimpulan sendiri atas apa yang dilihatnya. Bila suatu adegan harus diceritakan, fungsi film/sinetron kurang lebih akan sama dengan audiobook atau buku itu sendiri. Keunikan dan kelebihan film dalam bercerita adalah asumsi visual yang ditawarkan. Suatu film yang secara visual dapat menggambarkan maksud dan cerita, tanpa harus bernarasi, tentu telah memenuhi tolok ukur efektivitas pencapaian tujuan dibuatnya film itu.
Nah para penikmat sinetron, bagaimana pendapat anda?
0 komentar:
Posting Komentar